(cerpen raisal Kahfi)
Aku kembali terpaku pada panorama yang tidak asing lagi. Sebuah panorama yang selama ini begitu akrab dengan kehidupanku di kampus hijau ini. Di depaku berdiri kokoh sebatang pohon palem yang tegar dalam kesendirian. Pohon itu dikelilingi rumput basah yang bermandi matahari. Perlahan sisa tetesan embun yang hinggap di atasnya sirna seiring dengan pagi yang semakin tua.di tempat yang penuh kenangan ini aku masih menunggunya dengan setia, bagiku setia tidak pernah sia-sia.
Masih bisa ku hirup udara pagi walau matahari sudah agak meninggi. Pukul sepuluh, saat yang tepat untuk menunggunya disini, selasar sebuah mesjid yang selalu teduhkan jiwaku. Melapangkan pikiranku dari jenuhnya suasana perkuliahan.Hal inikah yang menjadi alasanku untuk segera kembali ke tempat ini begitu perkuliahan selesai. Begitu juga dengan teman-temannku yang saat ini, dibelakangku , sedang asyik membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta beberapa minggu lagi. Sesuai tempat kuliah ditempat ini selalu menjadi temat tujuan mereka. Dan kini aku masih asyik sendiri, menikmati matahari dan berbagai aktivitas kehidupan yang saat ini terpajang didepan mataku. Tanpa henti aku memohon kepada Tuhan agar pagi ini aku diperemukan dengannya, mahluk indah yang akhir-akhir ini mendobrak semesta hatiku dan membuatku jatuh cinta.
Kutebar pandangaku. Dikananku sebuah masjid berdiri dengan megah walau tak semegah masjid raya yang ada di alun-alun kotaku. Masjid itu namanya Al-Furqon. Tempat ini adalah salah satu tempat yang paling sering kusinggahi. Di beranda mesjid kulihat beberapa mahasiswa sedang membaca al-quran. Aku terenyuh melihatnya. Bagaimana tidak? akhir-akhir ini aku begitu jarang menyetuh kitab suci. Sungguh, aku benar-benar merasa berdosa. Tak jauh dari situ kulihat seorang lelaki yang sedang duduk termenung menatap kearah pohon palem, seperi aku. Tetapi setelah kuamati, sesekali lelaki itu tersenyum kecil seakan sedang bercakap-cakap dengan rumput. Entah apa yang sedang terperosok kedasar lembah cinta sepertiku? Entahlah, yang jelas wajahnya tampak tersenyum.
Didepanku, diseberang lapangan rumput, seorang penjual donat sedang melayani pembelinya, dua perempuan berjilbab dengan pakaian serba ketat. Dengan genitnya mereka memilih-milih donat yang ada didalam box, sepertinya si penjual donat cukup gerah juga pada dua perempuan centil itu. Tetapi mereka mengingatkanku pada seseorang yang saat ini masih kutunggu. Apa yang sedang dilakukannnya di pagi yang semakin tua ini? Kuharap dia sedang tidak menggoda lelaki lain seperti yang dilakukan oleh kedua perempuan itu.. bicara soal jilbab, memang akhir-akhir ini banyak sekali muslimah yang berjilbab bukan karena pangggilan hati, melainkan pada panggilan mode. Hal inilah yang membuatku dan beberapa temanku merasa prihatin.Ya, itu memang hak asasi mereka. Tetapi sejujurnya aku lebih menghormati wanita baik-baik tanpa jilbab dari pada wanita berjilbab yang gemar mempertontonkan auratnya. Seperti bidadari yang saat ini semakin membuat kesabaranku nyaris habis. Ia tak berjilbab. Rambutnya bergelombang bagai ombak disamudra. Hatinya begitu indah untuk dicintai. Dan dari cahaya dimatanya aku tau bahwa dia adalah hawa yang tercipta dari rusukku, tetapi mengapa dia belum muncul juga?
Tanpa terasa semakin tinggi, hampir tepat diatas kepalaku. Langit yang menyajikan pemandangan biru muda nyaris tak dihinggapi awan, udara sudah mulai panas. Kulepaskan sweater yang ku pkai sejak pagi. Ternyata leherku basah karena keringat,suasana disekelilingku semakin ramai saja saja. Berbondong-bondong para mahasiswa dari berbagai arah menyerbu selasar mesjid yang sebelumnya tampak legang. Teman-temanku tak lagi membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta.beberapa diantara mereka ada yang pulang ke kost-an dan baru kembali pada pukul satu nanti, karena masih ada mata kuliah kajian drama.sedangkan yang lainnya sedang tidur-tiduran, mengerjakan tugas, dan bahkan kedua orang temanku yang kebetulan berpacaran sedang duduk berdua sekitar tujuh meter dari samping kiriku. Huh, jujur saja aku sedikit iri pada mereka, sepertinya mereka sangat menikmati cinta. Tidak seperti aku yang kadang merana karena cinta. Seperti saat ini, aku dibuat merana oleh sebuah penantian sambil mendengarkan lagu-lagu melly goeslaw yang ada dalam album ada apa dengan cinta dengan menggunakan walkman milik temanku.
Aku tak bisa jelaskan mengapa bisa begini.Aku selalu rindu pada malamku bersamamu…
Kuhanya ingin mencintai, aku hanya ingin dicintai. Walaupun banyak yang menetangku, kuhanya ingin bahagia…
Siang semakin garang, mengucurkan keringat disekujur tubuhku. Saat ini aku sudah bisa mencium aroma siang. Kurasakan panas pada kulit tanganku yang terjemur langsung dibawah terik matahari. Aku berpindah tempat duduk, mencari tempat yang lebih teduh. Kini aku bersandar pada sebuah lemari kayu yang biasa dijadikan tempat penitipan sepatu. Orang-orang lalu lalang di depan wajahku. Tiba-tiba seorang anak menghampiriku membawa sebuah kecrek yang terbuat dari kayu dan tutup botol soft drink yang dipipihkan. Kukecilkan suara walkman untuk mendengarkan bocah yang sumuran dengan adik bungsuku bernyanyi,” libuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati lintangan demi aku anakmu.”
Hatiku benar-benar tersentuh. Bagaimana bisa seorang bocah yang belum bisa mengucapkan huruf ”R” berada disini mencari makan? Bukan seharusnya mereka berada di bangku sekolah? Inikah tanda-tanda ketidakadilan dunia lalu bagaimana dengan masa depan mereka? Ah, kurasa inilah salah satu penyebab keterbelakangan bangsa kita dibanding Negara lain. Tapi mau gimana lagi? Apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa miskin seperti aku selain berdo’a, dan berdo’a mudah-mudahan kelak tak ada lagi anak yang kurang beruntung seperti dia.Setelah ku keluarkan uang receh secukupnya anak itu berlalu, ia berkumpul dengan teman-temanya di dekat menara putih yang menjulang tinggi di depan masjid ini. Mereka terlihat begitu menikmati penatnya siang, seakan tanpa beban mereka belarian di bawah jemuran matahari. Sementara itu aku kembali menebar pandanganku masih dalam rangka mencari sosoknya yang selama ini kurindukan.
Adzan dzuhur berkumandang. Menyerukan panggilan untuk segera menghadap-Nya. Sebagian mahasiswa segera mengambil air wudhu dan sebagian lagi terlihat masih duduk-duduk memenuhi selasar masjid untuk menunggu tas dan sepatu teman-teman mereka yang pergi sholat terlebih dahulu.
Di masjid ini berkali-kali terjadi kasus kehilangan barang,baik itu tas, sepatu, jaket, atau handphone. Oleh karena itu sholat bergantian dianggap sebagai solusi terbaik untuk menghindari kehilangan barang. Begitu juga dengan aku, dua tahun yang lalu aku sempat menjadi korban kehilangan tas di masjid ini, betapa kesalnya aku saat itu. Isi tas memang tidak bernilai jual tinggi bagi orang lain, tetapi bagiku sangat berarti. Isinya disket-disket tugas akhir semester yang belum sempat di-print, dan foto-foto kenanganku bersama kekasihku yang pergi menghadap-Nya tiga tahun yang lalu.
Gambar-gambar wajah teduhnya seringkali mebuatku merasa bahagia karena pernah dicintai oleh mahluk seindah dirinya. Dan sejak aku bertemu dengan seseorang yang saat ini sedang kutunggu, aku seakan dipertemukan kembali dengan renkarnasi dirinya. Sungguh, kedua gadis itu terkesan sama bagiku. Tetapi mengapa dia belum datang juga.
Segera ku matikan walkman, setelah menitipkan tas dan sepatu pada temanku yang kebetulan sedang “libur sholat” aku segera mengambil air wudhu dan sholat berjama’ah. Seusai sholat aku berdoa pada Tuhan agar aku bisa dipersatukan denganya, aku ingin menjadikannya sebagai matahari cintaku. Kemudian aku segera kembali ke selasar masjid. Aku masih berharap bertemu dengannya siang ini, atau paling tidak aku bisa melihatnya walupun dari kejauhan. Yang jelas di dasar hati terdalamku aku ingin menyatakan isi hatiku untuknya siang ini juga.
Pukul setengah satu, matahari benar-benar tak slembut tadi pagi.suasana di sekelilingku semakin ramai. Para penjual makanan mulai berdatangan untuk menyajikan makan siang berupa batagor, siomay, cuanki, es cendol, cincau, dan berbagai makanan lain dengan harga murah tentunya. Tetapi aku sedikit-pun tidak tergerak untuk makan.entah kenapa.
Beberapa temanku mulai beranjak meninggalkan selasar masjid ini dan segera menuju ruang kulih yang letaknya cukup jauh dari sini. Untuk sampai disana kami harus melewati perpustakaan, balai bahasa, dan fakultas ilmu pendidkan. Apalagi,, dibawah terik yang menyegaat ini. Mungkin beberapa teman perempuan yang kolokan akan mengeluh sepanjang jalan. Takut kulitnya terbakaar-lah, takut hitam-lah, Menyebalkan.
Aku segera merapikan barang bawaanku, lalu segera kupakai sepatuku. Tetapi aku tdak segera beranjak, aku masih begitu ingin bertemu dengannya. Sekali lagi kuamati sekelilingku. Masih bisa kurasan suasana ramai khas tempat ini yang terjadi setiap hari kecuali hari sabtu dan minggu. Apalagi, hari senin seperti sekarang ini, biasanya kampusku ramai dibanding hari-hari lainnya.
Dan akhirnya penantianku tidak sia-sia. Tepat didepanku, di dekat gerbang kampus aku melihatnya berjalan menuju tempat parkir motor. Tetapi jantungku seakan berhenti berdegup. Dia tidak sendiri. seorang lelaki mendampingi langkahnya. Tak lama kemudian mereka berlalu, melaju dengan sebuah sepeda motor. Dia mendekap erat lelakinya. Wajah cantiknya melekat pada punggung lelaki itu. Menara putih dan pohon palem runtuh dalam semesta lukaku. Rumput terbakar terik matahari seperti hatiku yang terbakar api yang tak ku mengerti. Kering dan layu. Dalam hitungan detik segalanya berubah jadi debu. Tak ada lagi mawar atau kanigara. Yang ada hanyalah bangkai berbau amis.
Aku berlalu meninggalkan selasar masjid yang masih dipenuhi manusia. Kutinggalkan sebuah pertanyaan,” mengapa dia tak menjadikan aku sebaagai mataharinya?” pertanyaan itu terjawab, setelah aku tahu bahwa lelaki itulah mathari pilihannya. Dan aku, akan selalu menunggu di selasar masjid ini. Bukan lagi menunggu kedatangannya tetapi menunggu kematian sebuah pijaran jiwa yang kini telah diliputi luka mengaga. Aku terluka.
Sumber: majalah cerita kita 2006
2 comments:
knapa nggak bisa di blok..
makasih sudah memuat cerpen saya di blog ini ^^
salam kenal..
@ighiw
Post a Comment